Thursday, May 3, 2012

Kebijakan BBM Era SBY





oleh. Ahmad Zainul Ihsan Arif - 071144025



Pendahuluan



Topik menarik untuk dicermati seputar masalah kebijakan adalah kebijakan pengurangan subsidi BBM di era Reformasi. Kebijakan BBM dari masa ke masa selalu didominasi dengan masalah dampak pengurangan subsidi. Hal ini tak lepas dari sejarah Indonesia yang menerapkan sistem subsidi sejak awal orde lama. Sejak  rezim  Orde  Lama  harga  BBM  sudah  ditentukan (administered)  dan distabilkan  di  harga  tertentu  (stabilized)  oleh pemerintah.  Kebijakan  harga  BBM  yang administered  dan stabilized  tersebut  diwariskan  kepada  pemerintahan  berikutnya hingga  saat  ini.



Romantisme kebijakan subsidi BBM masa lalu nampak dari berbagai kebijakan tentang kenaikan BBM yang masih tetap mempertahankan subsidi. Terlebih kebijakan pemerintahan di era reformasi. Pemerintahan reformasi yang dimaksud adalah pemerintahan dari era Abdurahman Wahid, Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono. Pemerintahan Habbie digolongkan banyak kalangan sebagai era pemerintahan transisi.



Mempertahankan subsidi BBM pada era reformasi masih diartikan sebagai kebijakan populis (pro rakyat). Mempertahankan subsidi BBM berarti membuat harga BBM terjangkau oleh rakyat, menahan laju inflasi karena BBM dianggap sebagai penggerak ekonomi utama. Rasionalitas pandangan populis ini masih bisa diterima ketika Indonesia masih mengalami Boom Minyak pada tahun 1971 hingga 1980-an ketika sektor minyak masih bisa membiayai perkembangan pembangunan pesat sampai Indonesia tinggal landas pada tahun 1990. Di  awal  masa  pembangunan  Orde  Baru  perekonomian  Indonesia belum  terlalu  berkembang,  konsumsi  minyak  masih  sedikit. Akibatnya  surplus  minyak  melimpah,  apalagi  didukung  oleh tingginya harga minyak pada periode oil boom I dan oil  boom  II,

maka  uang  minyak  menjadi  modal  utama  pembangunan.

          























Sumber US Energy Consumtion Administration



Namun Akibatnya  surplus  minyak  Indonesia semakin menipis, pada tahun 2000 surplus minyak sudah dibawah 500  ribu  barel  per  hari.  Pada  tahun  2004  Indonesia  mengalami defisit  minyak  dan  menjadi  negara  net  importer  minyak.  Sebagai konsekuensinya  maka  pada  tahun  2008  Indonesia  secara  resmi keluar dari OPEC. Kita bukan lagi negara kaya minyak. Kebijakan pemerintah mempertahankan subsidi BBM tidak lagi bisa dianggap sebagai kebijakan populis.

Selain tingkat produksi dan konsumsi, efek minyak terhadap fiskal juga  berbeda  antara  tahun  1970-2000  dan  sesudah  tahun  2000. Pada tahun 1970-2000 penerimaan minyak dan gas yang melimpah

seluruhnya  masuk  ke  pemerintah  pusat,  sementara  itu  beban pemerintah  pusat  yang  terkait  minyak  hanya  subsidi  BBM  yang konsumsinya masih relatif sedikit. Setelah tahun 2000 penerimaan

minyak  dan  gas  yang  sudah  menyusut  akibat  turunnya  produksi secara  cepat  harus  dibagi  kepada  pemerintah  daerah  lewat mekanisme  Dana  Bagi  Hasil  Migas  sebagai  konsekuensi  otonomi daerah, sementara beban subsidi BBM yang konsumsinya semakin meningkat ditanggung sendirian oleh pemerintah pusat. Belum lagi ketentuan  dana  pendidikan  20  persen  mengharuskan  pemerintah menaikkan  dana  pendidikan  ketika  APBN  meningkat  akibat naiknya  harga  minyak  mentah.  Maka  saat  ini  kenaikan  harga minyak  mentah  justru  akan  menambah  defisit  APBN.  Saat  harga minyak  mentah  naik,  ada  kenaikan  penerimaan  negara,  tetapi kenaikan  belanja  lebih  besar  lagi.  Dari  tabel  dibawah  ini  dapat dilihat  bahwa  harga  BBM  dinaikkan  ketika  Neraca  Pemerintah Pusat  di  posisi  tertekan  (lihat  persentase  PDBnya),  yaitu  tahun 2005 dan 2008.



Kesadaran pengurangan subsidi BBM BBM sebenarnya telah disadari dan dimulai pada era pemerintahan reformasi. Melalui keputusan Presiden No. 135 Tahun 2000 sebagai bagian kebijakan Nasional (Propenas) tahun 2004. Dan sejak tahun 2000 pemerintah mulai memberlakukan penghapusan subsidi secara bertahap. Rencananya, dana hasil pengurangan subsidi tersebut dialihkan pada subsidi lain yang tepat sasaran. Namun kenyataannya hingga saat ini dana subsidi BBM makin membengkak. Disparitas harga BBM internasional dan BBM Dalam Negeri semakin meningkat tajam. Harga BBM yang sejak jaman pemerintahan era Abdurahman Wahid hingga massa awal periode kepemimpinan SBY yang cenderung naik rata-rata 16% bahkan awal periode kemimpinan SBY angka kenaikannya paling tinggi yakni 87,5 % adalah periode ruang fiskal longgar untuk mencari alternatif lain pemasukan negara untuk membiayai pembangunan. Namu saat mementum kelonggoran ruang fiskal tersebut puncaknya terjadi pada akhir periode pertama pemerintahan SBY, pemerintah tidak memanfatkannya dengan baik. Bahkan pemerintah menurunkan BBM kembali sebanyak 3 kali yang berdampak kelonggaran fiskal tersebut kembali untuk mensubsidi BBM.





Perkembangan kebijakan subsidi BBM dari awal era pemerintahan reformasi hingga akhir pemerintahan SBY periode pertama lebih banyak mempertimbangkan faktor ekonomi politik. Namun kelayakan situasi politik masih menjadi pertimbangan yang utama dibanding pertimbangan ekonomi.





Permasalahan kebijakan subsidi BBM menarik kembali dicermati dan dipahami ketika pemerintahan SBY  periode ke 2 mengusulkan RAPBN-P untuk mengurangi subsidi BBM dan menaikan kembali harga BBM. Setelah kurang lebih 2.5 tahun pemerintah SBY tidak menaikan harga BBM. Usulan perubahan RAPBN-P Pemerintah SBY direspon kalangan DPR RI dengan memutuskan kebijakan “menunda” pengurangan subsidi BBM dengan syarat pasal 7 ayat 6a UU Tahun 2012 yang berbunyi dalam hal harga rata-rata minyak Indonesia (Indonesia Crude Oil Price/ICP) dalam kurun waktu berjalan mengalami kenaikan atau penurunan lebih dari 5 persen dari harga minyak internasional yang diasumsikan dalam APBN-P Tahun Anggaran 2012, pemerintah berwenang untuk melakukan penyesuaian harga BBM bersubsidi dan kebijakan pendukung.



Sebuah keputusan politik yang nuasanya berbeda dengan keputusan kebijakan BBM sebelumnya. Sebuah Keputusan Politik yang memberikan beban berat untuk eksekutif pemerintahan SBY untuk menyesuaikan beban fiskal yang semakin berat. Model Kebijakan BBM yang memberikan otoritas pemerintah untuk menaikan harga BBM dengan ketidak pastian waktu kapan harga ICP mengalami kenaikan atau penurunan sebesar 5%.  Melalui makalah ini, penulis berusaha memahami dan memaknai proses, latar belakang, dan pendekatan kebijakan tersebut dibuat.



Analisis Masalah



Salah satu fase penting yang dijalani oleh rakyat Indonesia adalah menyadarkan diri sendiri bahwa sekarang ini Indonesia bukanlah merupakan net exportir bahan bakar minyak, tetapi net importir sebagai konsekuensinya maka penetapan harga bahan bakar minyak dalam negeri, khususnya dalam

bentuk premium yang di bawah harga pasar luar negeri akan berdampak pada pemberian

subsidi atas selisih antara harga pasar dan harga yang ditetapkan pemerintah, ini yang dikenal pemberian subsidi BBM. Eksistensi upaya mempertahankan keterpurukan negara dari pengaruh naiknya harga minyak dunia, akan ditantang oleh realitas ekonomi para pengusaha kecil yang memakai BBM maupun masyarakat Indonesia yang secara keseluruhan roda perekonomiannya digerakkan oleh BBM.



Demikian pula nuasa dan kondisi yang terjadi pada saat pembahasan kenaikan harga BBM di Rapat Paripurna DPR RI pada tanggal 30 April Lalu. Tekanan publik untuk membatalkan kenaikan subsidi BBM terjadi di hampir seluruh penjuru kota tanah air baik sebelum dan sesudah rapat purna DPR RI. Isu sensitif BBM digunakan oleh oposisi partai pemerintahan untuk menuding partai yang berkuasa sebagai partai yang tidak sensitif dengan kebutuhan masyarakat kecil dan tidak mendukung kebijakan yang pro rakyat. Kelompok-kelompok kepentingan yang berdemontrasi tersebut antara lain, kelompok serikat pekerja/buruh, aliansi mahasiswa nasional Indonesia (Konami), Partai demokrasi perjuangan. Tuntutan mereka menolak kenaikan BBM yang dikaitkan dengan kondisi pendidikan rakyat masih lebih rendah dengan laju kenaikan inflasi saat ini.



Para demontran terutama dari kalangan mahasiswa menguhubungkan kondisi ekonomi mikro yang belum bisa dijadikan pra syarat kenaikan BBM lebih dikarenakan maraknya praktek korupsi yang terjadi saat ini. Kemampuan fiskal pemerintah terus digrogoti partai-partai berkuasa saat ini. Kasus century, mafia pajak, wisma atlet dll yang ditengarai banyak melibatkan petinggi partai politik terus dikaitkan oleh kalangan yang menolak kenaikan harga BBM. Secara terbuka tokoh-tokoh penggerak  demontrasi mahasiswa menyatakan akan  menuntut pemerintahan SBY mundur bila pemerintah jadi menaikan harga BBM pada tanggap 1 April di TV One dalam dialog Apa Kabar Malam pada tanggal 30 Maret 2012. Mereka pun menyatakan bertanggung jawab atas anarki yang terjadi untuk mensuarakan aspirasinya kepada TV one.



Reaksi masyarakat yang begitu keras membuat kalangan DPR RI terpengaruh terhadap gerakan-gerakan extra parlementer tersebut. Keyakinan kalangan DPR RI yang didominasi lebih dari 75% partai koalisi pendukung pemerintah berubah menjadi kegamangan. Pembahasan usulan pemerintah tentang RAPBN-P 2012 terkait penyesuaian tarif subsidi BBM menjadi mengambang dan tidak membahas substansi kenaikan secara langsung. Kalangan DPR RI terlihat enggan menstempel kenaikan harga BBM. Tidak seperti keputusan DPR RI periode sebelumnya yang bersama-sama pemerintah memutuskan penyesuaiak APBN terkait dengan subsidi BBM. Kali Keputusan DPR RI menyerahkan sepenuhnya kenaikan harga BBM kepada pemerintah dengan menyelipkan pasal 7 ayat 6a UU Tahun 2012 tentang APBN 2012.



Menurut peneliti LSI Burhanudin Muhtadi, MA , Partai-partai koalisi menjadi gamang untuk mengikuti atau mendukung langkah SBY. Mereka takut terkena imbas jatuhnya popularitas partai mereka di masyarakat akibat kebijakan ini. Karena itu pertemuan pimpinan partai koalisi dengan SBY beberapa waktu lalu juga tidak menghasilkan keputusan jelas mengenai kebijakan ini.



Kegamangan partai koalisi pemerintah (setgab) dijelaskan oleh Pengamat Politik Ahmad Sabiq, MA (Kedaulatan Rakyat Online, (2 April 2012). PKS secara tegas menyuarakan penolakannya terhadap kebijakan kenaikan harga BBM. Sikap ini secara mengejutkan juga diikuti Partai Golkar. Sikap politik dari dua partai ini cukup menarik untuk dicermati sebab sejatinya kedua partai tersebut adalah bagian dari koalisi partai pendukung pemerintah. Penolakan dua partai tersebut rupanya juga mempengaruhi partai-partai pendukung pemerintah lainnya (PPP, PKB dan PAN) yang tak lagi terlihat mendukung secara tegas kebijakan pemerintah seperti terlihat dalam sikap politik abu-abu mereka pada pandangan fraksi-fraksi dalam rapat paripurna. Sikap-sikap politik partai-partai di atas setidaknya dapat membuat Partai Demokrat selaku partai pendukung utama pemerintah menyesuaikan usulannya sehingga keinginan pemerintah untuk menaikkan harga BBM per 1 April 2012 terpaksa tertunda.



Banyak pihak menilai penolakan kenaikan harga BBM adalah strategi pencitraan partai agar tampak memiliki keberpihakan terhadap nasib rakyat. Hal ini terlihat dari momen penolakan yang disampaikan saat aksi-aksi demonstrasi telah begitu marak dan berskala luas, bukan pada awal pemerintah menyampaikan rencananya untuk menaikkan harga BBM. Jika dicermati dari kajian kepartaian,



Sikap politik partai-partai tersebut dapat dijelaskan berdasar tipe perilaku politik partai yang menurut Strom dan Muller (1999) dapat dibagi menjadi tiga yaitu the office-seeking party (partai

pencari jabatan), the policy-seeking party (partai pencari kebijakan) dan th



Wacana pengurangan subsidi BBM yang telah berhasil disosialisasikan sejak jaman Pemerintahan Aburahman Wahid terutama pada massa Pemerintahan Megawati menjadi titik balik ketika masyarakat mengetahui realitas bahwa pyang terungkap dari berbagai artikulasi tokoh-tokohnya di media pencari jabatan), the policy-seeking party (partai pencari kebijakan) dan the vote-seeking party (partai pencari suara). Partai pencari jabatan berupaya untuk memaksimalkan perolehan posisi-posisi strategis dalam pemerintahan. Partai pencari kebijakan berusaha memprioritaskan perhatiannya pada persolan kebijakan publik dan memaksimalkan dampak peran mereka. Adapun partai pencari suara bergiat untuk memaksimalkan perolehan suara dalam rangka memenangkan pemilu. Sayangnya, partai-partai dalam koalisi lebih cenderung mengikuti gerak pendulum office-seeking di satu kesempatan dan vote-seeking di kesempatan lainnya serta menempatkan aspek policy dalam ayunan pendulum tersebut. Sepanjang kebijakan-kebijakan yang dicanangkan pemerintah tidak memberi dampak negatif bagi perolehan suara maka partai-partai itu akan patuh mendukung kebijakan tersebut. Akan tetapi, bila kebijakan tersebut membawa imbas citra buruk di hadapan pemilih, mereka akan menolaknya. Apalagi saat pemilu semakin dekat, ketegangan akibat perbedaan kebijakan akan semakin meningkat.



Ketua Koalisi Partai Pendukung Pemerintah (Setgab) Aburizal Bakrie (tempo, 31 Maret 2012) mengakui  rumusan kebijakan BBM yang menelipkan ayat tersebut dianggap sebagai solusi praktis terhadap jalan buntu subsidi BBM. Aburizal menuturkan formula baru fraksinya dapat memberi ruang memadai bagi kompromi di antara partai-partai koalisi. Oleh karena itu, dikatakan Aburizal, Partai Demokrat, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Amanat Nasional (PAN), akhirnya menerima solusi dari Golkar tersebut.



Kondisi ini tentu menjadi angin segar bagi partai oposisi yang dihuni PDIP, Gerindra, Hanura. Dengan tambahan suara atau kekuatan PKS, Golkar, PPP, dan PKB, mereka lebih leluasa menekan pemerintah untuk membatalkan penaikan BBM. Hal itu, tentunya akan tercermin dalam pengambilan keputusan di Sidang Paripurna DPR. Partai Koalisi yang sebelumnya berada di atas angin, kini seperti mati angin.



Pada akhirnya, kepentingan politislah yang lebih berpengaruh terhadap keputusan kenaikan BBM, daripada pertimbangan ekonomi terkait keseimbangan anggaran dalam APBNP 2012 mendatang. Defisit APBN yang disebabkan membengkaknya subsidi BBM akibat naiknya harga minyak mentah dunia, bisa jadi tidak lagi dipertimbangkan. Di sinilah, pemerintahan SBY dan Demokratnya, dalam posisi dilematis. Menaikkan harga BBM, berisiko ditinggal kawan politik dan mengakibatkan inflasi serta kenaikan harga bahan pokok yang tidak terkendali, sehingga akan kehilangan kepercayaan rakyat. Di sisi lain, tidak menaikkan BBM, APBN akan defisit sehingga harus mencari seribu cara menyeimbangkannya.



Menurut Parson, model keputusan seperti di atas didefinisikan sebagai proses pengambilan keputusan kebijakan yang mengedepankan pendekatan kekuasaan bersifat elistis. Model kekuasaan (power) memandang pembuatan keputusan sebagai sesuatu yang dibentuk dan ditentukan oleh struktur kekuasaan: kelas, orang kaya, tatanan birokratis, dan tatanan politik, kelompok penekan, dan kalangan professional atau ahli pengetahuan teknis.Enam macam pendekatan kekuasaan dalam pembuatan keputusan. Sedangkan sifat elitisme berfokus pada cara kekuasaan dikonsentrasikan. Model proses kebijakan elitis berpendapat bahwa kekuasaan terkosensentrasi ditangan sebagian orang atau kelompok. Menurut model ini pembuatan keputusan adalah proses yang dilaksanakan demi keuntungan elit-elit tertentu.Sebagai sebuah model pembuatan keputusan, tujuan elitism didasarkan pada analisis terhadap cara dunia riil berjalan. Dikatakan bahwa dalam dunia riil ada pihak-pihak yang berada diatas yang memegang kekuasaan dan ada massa yang tidak memegang kekuasaan.Model ini berasal dari ilmu social modern, yakni berakar pada pendapat seorang ahli yaitu Karl Marx, yang berpendapat bahwa elitisme adalah sesuatu yang tak bisa dihinda; masyarakat tanpa kelas adalah mitos, dan demokrasi tal lebih adalah sekedar pura-pura. Demokrasi juga dapat dilihat sebagai sebentuk politik, dimana elit-elit politik bersaing untuk mendapatkan suara dari rakyat guna mengamankan legitimasi kekuasaan.


Published with Blogger-droid v2.0.1

No comments:

Post a Comment